Edisi kali ini, mengangkat tema “Hukum Seputar Adzan dan Iqomat”. Semoga para pembaca yang budiman, dapat memperolah faidah di dalamnya. Selamat membaca !
Adzan merupakan salah satu ibadah dan syiar Islam yang sangat nampak. Kalimat-kalimat dalam Adzan adalah mutiara tauhid dan keimanan yang sangat dahsyat. Dia dapat menggetarkan hati hamba yang bening. Para Ulama Islam, menaruh perhatian yang amat besar terhadap adzan dan iqomah, sebagai syariat dan syiar Islam hingga hari kiamat.
Ada beberapa sunnah dan hukum yang selayaknya dihidupkan di tengah kelalaian manusia mengamalkannya. Kami sebutkan sebagian di antaranya, yakni :
1. Lafadz Adzan Ketika Hujan
Ketika ada hujan lebat atau angin kencang yang sekiranya memberatkan jama’ah untuk berangkat ke masjid, maka disyariatkan bagi mu’adzin untuk mengatakan “ala sholluu fii rihalikum” yang artinya sholatlah di rumah-rumah kalian.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar pernah adzan pada suatu malam yang dingin dan berangin, lalu mengatakan: Sholatlah di rumah-rumah kalian. Kemudian dia mengatakan : Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan mu’adzin apabila malam yang dingin dan hujan untuk mengatakan: Sholatlah di rumah-rumah kalian.” [HR.al-Bukhari 666 dan Muslim 697].
Timbul sebuah pertanyaan, kapankah mengucapkannya?! Dalam hal ini ada perselisihan di kalangan ulama. Ada yang mengatakan setelah lafadz Asyhadu anna Muhammad Rasulullah sebagai ganti Hayya ‘alash sholah, ada yang mengatakan setelah Hayya ‘alal falah, ada yang mengatakan setelah usai adzan atau setelah lafadz Laa Ilaaha Illallah. Pendapat yang benar bahwa semuanya boleh karena semuanya ada dalilnya. [Liat Syarh Muslim oleh an-Nawawi 5/207].
2. Adzan Bagi Orang yang Shalat Sendirian
Hal ini disyariatkan, berdasarkan hadits-hadits yang shohih. Diantaranya : Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Robbmu merasa takjub terhadap seorang penggembala kambing di puncak gunung, Dia adzan dan mengerjakan shalat. Maka Allah berfirman: Lihatlah hamba-Ku ini, dia mengumandangkan adzan dan shalat karena takut kepada-Ku. Sungguh Aku telah mengampuni hamba-Ku ini dan memasukkannya ke surga.” [HR.Abu Dawud 1203, an-Nasa’i 664, Ahmad 4/145, 157, 158 dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no.214 dan Silsilah ash-Shohihah no.41].
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah dalam bab fiqih yang disunnahkannya adzan bagi orang yang shalat sendirian. Itulah bab yang dibuat oleh Imam an Nasa’i rahimahullah mengenai hal ini. Dan sungguh telah datang perintah untuk beradzan dan iqomat dalam sebagian jalan hadits musi’ sholat (orang yang jelek shalatnya). Maka tidak selayaknya bagi muslim untuk meremehkan perkara tersebut.” [Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah no.41].
3. Mengucapkan Sebagaimana Yang Diucapkan Oleh Mu’adzin (Menjawab Adzan)
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri : Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan mu’adzin.“[ HR.Muslim 383].
Hadits ini bersifat umum, tetapi telah shohih pengecualian dalam dua hal “hayya alash sholat” dan “hayya alal falah” dengan menjawab “La haula wa la quwata illa billah“, sebagaimana dalam hadits Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu.[ HR.Muslim 385].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Sunnah menjawab adzan ini berlaku bagi orang yang di atas thaharah, bagi yang berhadats, orang junub, wanita haid, dan selain mereka, selama tidak ada penghalang untuk menjawabnya, seperti sedang menunaikan hajat di WC, sedang berhubungan intim dengan istrinya, atau sedang mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj 4/309 dan Al-Majmu’ 3/125).
Ganjaran Surga bagi yang Menjawab Adzan dengan Yakin
Siapa yang menjawab adzan dengan meyakini apa yang diucapkannya maka dia mendapat janji surga dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata : Pernah ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bilal bangkit untuk menyerukan adzan. Tatkala Bilal diam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mengucapkan seperti ucapannya muadzin disertai dengan keyakinan maka ia pasti masuk surga.” (HR. An-Nasa’i no. 674, dihasankan Al-Imam Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa’i).
4. Membaca Dzikir Setelah Syahadat
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dari Rasulullah berkata: Barangsiapa yang berkata ketika mendengar mu’adzin: [asyhadu anla ilaaha illallah wahdahu la syarikalahu wa anna muhammadin 'abduhu wa rasuluh, radhiitu billahi rabba wabi muhammadin rasuula wabii islami diina] Saya Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah saja tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rosul-Nya, saya ridho Allah sebagai Rabbku dan Muhammad sebagai nabiku dan Islam sebagai agamaku, maka diampuni dosanya.“[ HR.Muslim 386]
Adapun letaknya, para ulama berselisih apakah setelah syahadat ataukah setelah usai adzan. Kita berharap masalahnya mudah yakni boleh kedua-duanya. Hanya saja dalam riwayat Abu Awanah: 1/283-284 dijelaskan bahwa letaknya setelah syahadat sehingga hal itu lebih diutamakan. Wallohu A’lam
5. Bersholawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma dimana beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah seperti yang diucapkan mu’adzin kemudian bersholawatlah kepadaku. Karena barangsiapa yang bersholawat kepadaku satu kali, Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali, kemudian mintalah kepada Allah wasilah karena itu adalah tempat di surga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan saya berharap sayalah yang mendapatkannya, maka barangsiapa yang memintakan untukku wasilah niscaya halal syafa’at baginya.“[ HR.Muslim 384].
Fadhilah Adzan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Seandainya manusia mengetahui pahala yang ada pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mungkin mendapatkannya kecuali dengan mengadakan undian niscaya mereka akan mengadakan undian." [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Jika adzan untuk shalat dikumandangkan, maka setan lari terbirit-birit dan kentut, sehingga dia tidak mendengar adzan." Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Dari Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu , dia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Orang yang paling panjang lehernya pada Hari Kiamat adalah para muadzin." [HR. Muslim].
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu , dia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Tidak ada jin, manusia dan sesuatu yang mendengar gaung suara muadzin kecuali dia bersaksi untuknya pada Hari Kiamat." [HR. al-Bukhari].
Sifat-sifat Muadzin
1. Mengharapkan pahala.
Utsman bin Abil Ash radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Diantara amanah terakhir yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berikan kepadaku adalah agar aku mengangkat seorang mu'adzin yang tidak mengambil upah dari adzannya tersebut." (HR. At-Tirmidzi no. 209, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi).
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu berkata setelah membawakan hadits di atas, “ Hadits Utsman ini derajatnya hasan shahih. Pengamalan terhadap hadits ini menurut ulama adalah, bahwa mereka memakruhkan bagi tukang adzan mengambil upah atas adzannya, dan mereka lebih menyukai jika mereka (mu'adzin) hanya mengharapkan pahala dari adzan yang ia lakukan”. (Sunan At-Tirmidzi, 1/135).
2. Suaranya bagus, lantang, dan keras
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang mimpi mendengar adzan : “Mimpimu itu adalah mimpi yang benar Insya Allah. Bangkitlah engkau bersama Bilal, sampaikan padanya apa yang kau dapatkan dalam mimpimu agar dia mengumandangkan adzan tersebut, karena dia lebih lantang suaranya darimu.” (HR. Ahmad 3/43, Ashabus Sunan kecuali An-Nasa’i, dan selainnya. Hadits ini dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu sebagaimana dlm Al-Irwa’ no. 246 ).
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menyatakan disenanginya memilih muadzin yang bagus suaranya karena akan lebih menyentuh hati pendengarnya. Seorang muadzin juga tidak boleh memanjang-manjangkan dan melagukan/mendayu-dayukan adzan. (Al-Umm, kitab Ash-Shalah, bab Raf’ush Shaut bil Adzan ).
3. Amanah.
Hal ini karena ia bertanggung jawab akan masuknya waktu shalat dan ketepatannya. Juga karena adzan ini sangat berkaitan dengan puasa dan berbukanya kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Imam adalah penjamin, sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi…” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 239)
4. Mengetahui waktu-waktu shalat .
Karena tidaklah sah adzan di luar waktunya menurut kesepakatan ahlul ilmi. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan :“Bilal tidak pernah mengakhirkan adzan dari waktunya, namun terkadang dia mengundurkan sedikit iqamah.” (HR. Ibnu Majah no. 713, dan hadits ini dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah).
5. Disenangi bagi muadzin mengumandangkan adzan dalam keadaan suci.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku tidak suka berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Abu Dawud no. 17, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Ash-Shahihah no. 834).
6. Dalam keadaan berdiri.
Hal ini seperti disebutkan dalam hadits Abdurrahman ibnu Abi Laila tentang mimpi seorang lelaki dari kalangan Anshar. Laki-laki tersebut melihat seseorang memakai dua potong pakaian berwarna hijau. Ia berdiri di atas masjid lalu adzan. Kemudian ia duduk beberapa waktu. Setelahnya ia berdiri kembali untuk menyerukan iqamat. (HR. Abu Dawud no. 506, hadits shahih sebagaimana dalam Shahih Abi Dawud)
7. Menghadap kiblat
Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu tentang turunnya malaikat lalu mengumandangkan adzan. Abdullah berkata, “Ketika aku berada di antara tidur dan jaga, tiba-tiba aku melihat seorang lelaki memakai dua potong pakaian hijau, ia lalu menghadap kiblat dan berkata: Allahu Akbar, Allahu Akbar…” (HR. Ahmad 5/246-247, Abu Dawud no. 507, dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu).
8. Meletakkan dua jari ke dalam dua telinga.
Abu Juhaifah berkata, “Aku melihat Bilal adzan, ia memutar kepalanya (ke kanan dan kiri, pen.), mulutnya ke sana dan ke sini, sementara dua jarinya berada dalam dua telinganya…” (HR. At-Tirmidzi no. 197, hadits shahih sebagaimana dalam Shahih At-Tirmidzi) Tidak ada keterangan jari mana yang dimasukkan tersebut, namun Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu memastikan bahwa jari yang dimasukkan adalah telunjuk. (Fathul Bari, 2/152).
9. Menolehkan kepala sedikit ke kanan ketika mengucapkan: “hayya alash sholat” Dan menoleh ke kiri saat menyerukan : “hayya alal falah” .
Dalam riwayat Abu Dawud (no. 520) disebutkan : Ketika Bilal sampai pada ucapan: hayya ‘alash shalah, hayya ‘alal falah, ia memalingkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, dan ia tidak berputar.” (Dishahihkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ 3/116).
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata ketika memberikan bab terhadap hadits di atas dalam Shahihnya, “Menolehnya muadzin ketika mengatakan hayya ‘alash shalaah hayya ‘alal falaah cukup dengan mulutnya saja, tidak dengan seluruh badannya.” Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya menolehkan mulut hanyalah dimungkinkan dengan ditolehkannya wajah.”
Di antara ahlul ilmi ada juga yang mengatakan menoleh ke kanan dan ke kiri untuk yang pertama kali dengan حَيَّ عَلَى الْصَّلاَةِ dan yang kedua menoleh ke kanan dan ke kiri dengan حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ. Ada juga yang mengatakan, menoleh ke kanan dengan mengucapkan حَيَّ عَلَى الْصَّلاَةِ, lalu kembali ke arah kiblat, lalu menoleh lagi ke kanan sambil mengucapkan حَيَّ عَلَى الْصَّلاَة. Setelah itu menoleh ke kiri sambil mengucapkan حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ, lalu kembali ke arah kiblat, lalu menoleh lagi ke kiri sambil mengucapkan حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ. (Al-Minhaj, 4/218). (abm)
Wallahu A’lam.
sumber dari : www.al-munir.com
0 komentar:
Posting Komentar